tentang Perang Paregreg. Bahwa perang itu terjadi setelah Prabu Hayamwuruk wafat.
Perkawinannya dengan permaisuri Dewi Sori , hanya melahirkan putri
sedang perkawinannya dengan selir( Kedaton Wetan/majapahit Timur)
melahirkan seorang putra. yang kemudian bernama Bhre Wirabumi dan
diangkat sebagai raja Majapahit Timur*)(Blambangan dan Bali?),sedang
Majapahit Pusat tetap ditangan Prabu Hayamwuruk. Ketika Prabu Hayamwuruk
wafat, pewarisan tahta tidak tertata dengan baik dan jatuh ke putrinya
Dyah Kusumawardhani yang tidak memiliki kecakapan memerintah , maka
suaminya Wikramawhardana secara perlahan dan pasti mengambil alih
kekuasaan, dan kekuasaan inipun nanti diwariskan kepada putrinya Dewi
Suhita. Sejak diambil alih oleh Wikramawardana, sebenarnya telah timbul
masalah, apakah menantu lebih berhak dari putra dari selir, apalagi
ketika mahkota diserahkan kepada putrinya Dewi Suhita padahal dasar
pewarisan adalah Patrilineal…..Disamping itu Negara Kertagama mengungkap
fakta lain, sejak Wikramawardana menjadi raja, kedudukan para pendeta
Hindu Siwa mulai tersingkir. Seperti diketahui Wikramawardana adalah
seorang penganut Budha, dan diakhir pemerintahannya malah menjadi
Bhiksu. Sedangkan prabu Hayamwuruk adalah seorang Hindu Siwa dan telah
dinobatkan sebagai Sang Hyang Giri Nata Bathara Siwa( perwujudan dewa
Siwa di bumi) sedang Bhree Wirabumi adalah seorang Hindu Siwa yang
teguh.
Perselisihan tersebut akhirnya memuncak menjadi Perang Paregreg( Perang
yg terjadi berkali kali). Bhree Wirabumi tak terkalahkan.Karena itu
Wikramawardhana akhirnya berjanji akan mengangkat Bhree Wirabhumi
menjadi raja Majapahit setelah pemerintahan beliau dan sebagai tanda
keseriusan janji Wikramawardhana menikahkan adiknya dengan Bhre
Wirabhumi. Tetapi rupanya Wikramawarhana tidak memenuhi janji tersebut
dan malahan mengangkat putrinya Dewi Suhita menjadi raja Majapahit.
Tentu hal ini tidak diterima oleh Bhree Wirabhumi. Tetapi rupanya Dewi
Suhita,telah mempersiapkan pewnyerbuan ke Blambangan dengan mengerahkan
seluruh kekuatan tempurnya yang dipimpin Bhre Narapati.( Dalam versi
lain penyerbuan ini dipercepat karena Panglima Cheng Ho mengunjungi
Blambangan . Padahal kunjungan ini dilaksanakan semata mata karena
panglima Cheng Ho , mendengar kemakmuran Blambangan ,dan berkeinginan
menambah perbekalan, tetapi oleh Bhree Narapati ditafsirkan sebagai
dukungan panglima Cheng Ho kepada Blambangan…..sampai ketemu ditulisan
wajah Mongolid ,orang Using)
Bhre Narapati tidak hanya mengalahkan Bhree Wirabumi tetapi juga memancung kepala Bhre Wirabumi.
Dengan beralihnya kekuasaan ke Dewi Suhita, dan kematian Bhre Wirabumi,
sejarahwan Slamet Mulyana mencatat sebagai akhir dari wangsa
Sanggramamawijaya, dan berakhir kerajaan Hindu di Jawa(Majapahit Timur
atau Blambangan).
Pemancungan kepala Bhre Wirabumi oleh Narapati dianggap kesalahan besar.
Dia tidak sepantasnya melakukan seperti itu, terhadap putra Sang Hyang
Giri Nata Bathara Siwa atau Prabu Hayamwuruk, keturunan darah biru
wangsa Sanggramawijaya, penganut dan pelindung brahmana Hindu Siwa. Maka
tiga tahun kemudian Narapatipun dipancung dan jenazah Bhre Wirabhumi
diagungkan kembali karena makamnya dicandikan yaitu Candi Lung.
Setelah pemancungan Bhre Wirabumi perebutan tahta dan dendam kesumat merontokkan Majapahit
.
Siapakah wangsa Sanggramawijaya.
Wangsa Sanggramawijaya menurut para sejarahwan adalah raja 2 yang
keturunan Ken Dedes dan Ken Arok. Seperti diketahui Ken Arok merebut Ken
Dedes dari Tunggul Ametung , seorang akuwu ( bupati) Tumapel.
Perebutan ini sepenuhnya mendapat restu dari Brahmana Hindu Siwa karena
perkawinan antara Ken Dedes dan Tunggul Ametung, dianggap para brahmana
Hindu Siwa, sebagai perkawinan yang tidak setara, dan merupakan
pemaksaan dari Tunggul Ametung. Tunggul Ametung tidak memiliki
kepantasan sedikitpun kawin dengan Ken Dedes karena kedudukan dan
kastanya lebih rendah. Maka para Brahmana Hindu Siwa , memerintahkan Ken
Arok, ksatrya Brahmana merebut kembali Ken Dedes dari Tunggul Ametung.
Pramudya Ananta Toer mendeskripsikan , tentang kelompok Hindu Siwa ini,
sebagai ras Arya yang sangat exclusive dan menjaga keturunan dengan
ketat dan teguh terhadap agamanya.
Kapan kelompok ini datang ke Jawa
Sejarahwan mencatat mereka (Arya) telah berada di Jawadwipa ( Pulau
Jawa) ,sejak wangsa Sanjaya diabad ke tujuh. Malahan ada yang
berpendapat wangsa Sanjaya , sebenarnya berasal dari Jambudwipa (
India).Mereka adalah pembangun atau setidaknya terlibat secara langsung
dengan pendirian candi Prambanan(Hindu Siwa) dan candi Borobudur.(
Budha) .
Ada sejarahwan yang berpendapat semula candi Borobudurpun dipersiapkan
sebagai candi Hindu Siwa, seperti terlihat bentuk pada bangunan dasar
dan konsep kontruksinya, tetapi karena wangsa Sanjaya (Hindu Siwa) kalah
dengan wangsa Syailendra (Budha Mahayana) , maka candi Borobudur
diteruskan sebagai candi Budha.
Maka kelompok ini dengan jelas keberadaaannya terlacak mulai dari wangsa
Sanjaya,Syaelendra, Singhasari, Majapahit , Blambangan dan Bali
Bagaimana nasib kelompok Arya (Hindu Siwa ) di Blambangan ,setelah perang Paregreg
TAMAN AYUN YANG DIBANGUN TJOKORDE SAKTI BLAMBANGAN
Setelah perang Paregreg , dengan sendirinya tamatlah kerajaan Hindu
Siwa di Jawa. Dan seperti dicatat oleh Negara Kertagama , karena
perlakuan yang tidak pantas raja 2 sesudah Hayamwuruk, terhadap Brahmana
dan penganut Hindu Siwa maka mereka sebagian exodus ke Bali.
Meskipun begitu kerajaan Blambangan masih mampu menghadang expansi
kerajaan Demak Islam, dan mengalahkan pasukan Demak di Penarukan, karena
dalam pertempuran itu Sultan Tranggono gugur . Oleh karena itu peranan
Blambangan dalam menjaga existensi Bali sangat besar .
Maka pantas kiranya pendiri kerajaan Mengwi( dari Bali Selatan),I Gusti
Agung Anak Agung mengangkat dirinya dengan gelar kebesaran Tjokorde
Sakti Blambangan . Beliau tidak saja mencantumkan Blambangan sebagai
namanya tetapi juga membangun Pura Paibon ( yaitu Pura yang diperuntukan
untuk ibu suri) yang dikenal sekarang sebagai Taman Ayun.
Para sejarahwan menganggap taman ini lebih bernuansa Jawa Kuno ( Hindu
Siwa Jawa) daripada Hindu Siwa Bali , Pura ditempat itu tidak menghadap
ke Gunung Agung dan lebih dari itu ditaman ini terdapat 64 tugu leluhur (
batu dengan permukaan halus atau Dolmen yang mirip dengan watu
loso,yang ada di daerah Rogojampi ke barat).
Dengan itu saya agak ragu mengatakan bahwa kerajaan Mengwi menguasai
Blambangan tetapi .mungkin ada istilah yang lebih tepat.atau barangkali
sebenarnya Mengwi adalah peralihan kerajaan Majapahit Timur /Blambangan
ke Bali.
Ini terbukti dengan keterlibatan Mengwi mengusir penjajah Belanda dari Bumi Blambangan sangat jelas dan intens.
Wong Agung Wilis yang menjadi adipati dan panglima perang di Blambangan
dididik dan dibesarkan di kerajaan Mengwi. dan mendapat dukungan penuh
dari kerajaan Mengwi ,sehingga mampu mengerahkan 4000 pasukan yang
terdiri pasukan Blambangan, Bali , China,dan Bugis dalam satu perang
frontal yang amat dahsyat yang kemudian kita kenal Perang Puputan Bayu.
Berakhirnya perang Puputan Bayu,berakibat fatal pada kelompkok Arya di Blambangan juga bagi kerajaan Mengwi di Bali.
Setelah perang Puputan Bayu pemusnahan orang Arya di Blambangan (
Banyuwangi)) dilakukan secara sistematis , Sir Stanfford Raffles dalam
buku terkenalnya : History Of Java “ menulis
From that moment , the provinces subjected to its authority, ceased to
improve. Such were the effect of her desolating system that the
population of the province of Banyuwangie,which 1750 is said to have
amounted to upwards of 80.000, was in 1811 reduce to 8000.
Sebuah survey demographie setelah perang Puputan Bayu menjadi bukti
tulisan Sir Stanford Raffles tsb Blambangan hanya memiliki 120 sampai
130 kampung asli,dan tiap kampong hanya dihuni paling banyak 35
keluarga, malahan ada kampong yang tidak berpenghuni ( antara lain
Tabanan).
Desolating system yang dilakukan Belanda sendiri, maupun Penguasa Local
(boneka Belanda) terhadap kelompok Arya Blambangan pada saat itu sungguh
mengerikan,mulai dari kerja rodi, membentuk persepsi yang jelek melalui
cerita Menakjinggo Damarwulan ( Serat Kanda, serat Blambangan, Serat
Damarmulan) sampai perlakuan yang sadis terhadap para ksatrya Arya
Blambangan( ada novel yang menceritakan masalah ini).
Akibat tindakan ini selain jumlah populasi yang menyusut drastis juga
berakibat populasi perempuan kelompok Arya Blambangan lebih banyak dari
kelompok laki laki.
Pemerintahan Sir Stanford Raflles 1811 sd1816,( ada bukti lain
sebenarnya Inggris tetap menguasai Bengkulu dan Banyuwangi sampai
Raffles menguasai Singapore yaitu 1819) memberi sedikit bernafas lega
kelompok ini. Pembangunan mulai digerakkan , para pendatang dari segala
suku dan bangsa berdatangan ke Banyuwangi. Maka terjadilah perkawinan
campuran gadis Arya Blambangan yang cantik dengan para pendatang,
demikian pula para prianya.
Tidak heran jumlah mereka yang asli semakin mengecil, dan penulis hanya
menjumpai mereka yang sudah tua pada tahun 1950an. Mungkin zaman
revolusi dan kemerdekaan telah mematahkan exclusive mereka , dan mereka
sekarang malah menjadi pluralis kawin dengan suku Nusantara maupun
dengan suku bangsa lainnya.
Perang Paregreg
Diposting oleh
yunitaarumrahayu
|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar