tentang Perang Paregreg. Bahwa perang itu terjadi setelah Prabu Hayamwuruk wafat.
Perkawinannya dengan permaisuri Dewi Sori , hanya melahirkan putri
sedang perkawinannya dengan selir( Kedaton Wetan/majapahit Timur)
melahirkan seorang putra. yang kemudian bernama Bhre Wirabumi dan
diangkat sebagai raja Majapahit Timur*)(Blambangan dan Bali?),sedang
Majapahit Pusat tetap ditangan Prabu Hayamwuruk. Ketika Prabu Hayamwuruk
wafat, pewarisan tahta tidak tertata dengan baik dan jatuh ke putrinya
Dyah Kusumawardhani yang tidak memiliki kecakapan memerintah , maka
suaminya Wikramawhardana secara perlahan dan pasti mengambil alih
kekuasaan, dan kekuasaan inipun nanti diwariskan kepada putrinya Dewi
Suhita. Sejak diambil alih oleh Wikramawardana, sebenarnya telah timbul
masalah, apakah menantu lebih berhak dari putra dari selir, apalagi
ketika mahkota diserahkan kepada putrinya Dewi Suhita padahal dasar
pewarisan adalah Patrilineal…..Disamping itu Negara Kertagama mengungkap
fakta lain, sejak Wikramawardana menjadi raja, kedudukan para pendeta
Hindu Siwa mulai tersingkir. Seperti diketahui Wikramawardana adalah
seorang penganut Budha, dan diakhir pemerintahannya malah menjadi
Bhiksu. Sedangkan prabu Hayamwuruk adalah seorang Hindu Siwa dan telah
dinobatkan sebagai Sang Hyang Giri Nata Bathara Siwa( perwujudan dewa
Siwa di bumi) sedang Bhree Wirabumi adalah seorang Hindu Siwa yang
teguh.
Perselisihan tersebut akhirnya memuncak menjadi Perang Paregreg( Perang
yg terjadi berkali kali). Bhree Wirabumi tak terkalahkan.Karena itu
Wikramawardhana akhirnya berjanji akan mengangkat Bhree Wirabhumi
menjadi raja Majapahit setelah pemerintahan beliau dan sebagai tanda
keseriusan janji Wikramawardhana menikahkan adiknya dengan Bhre
Wirabhumi. Tetapi rupanya Wikramawarhana tidak memenuhi janji tersebut
dan malahan mengangkat putrinya Dewi Suhita menjadi raja Majapahit.
Tentu hal ini tidak diterima oleh Bhree Wirabhumi. Tetapi rupanya Dewi
Suhita,telah mempersiapkan pewnyerbuan ke Blambangan dengan mengerahkan
seluruh kekuatan tempurnya yang dipimpin Bhre Narapati.( Dalam versi
lain penyerbuan ini dipercepat karena Panglima Cheng Ho mengunjungi
Blambangan . Padahal kunjungan ini dilaksanakan semata mata karena
panglima Cheng Ho , mendengar kemakmuran Blambangan ,dan berkeinginan
menambah perbekalan, tetapi oleh Bhree Narapati ditafsirkan sebagai
dukungan panglima Cheng Ho kepada Blambangan…..sampai ketemu ditulisan
wajah Mongolid ,orang Using)
Bhre Narapati tidak hanya mengalahkan Bhree Wirabumi tetapi juga memancung kepala Bhre Wirabumi.
Dengan beralihnya kekuasaan ke Dewi Suhita, dan kematian Bhre Wirabumi,
sejarahwan Slamet Mulyana mencatat sebagai akhir dari wangsa
Sanggramamawijaya, dan berakhir kerajaan Hindu di Jawa(Majapahit Timur
atau Blambangan).
Pemancungan kepala Bhre Wirabumi oleh Narapati dianggap kesalahan besar.
Dia tidak sepantasnya melakukan seperti itu, terhadap putra Sang Hyang
Giri Nata Bathara Siwa atau Prabu Hayamwuruk, keturunan darah biru
wangsa Sanggramawijaya, penganut dan pelindung brahmana Hindu Siwa. Maka
tiga tahun kemudian Narapatipun dipancung dan jenazah Bhre Wirabhumi
diagungkan kembali karena makamnya dicandikan yaitu Candi Lung.
Setelah pemancungan Bhre Wirabumi perebutan tahta dan dendam kesumat merontokkan Majapahit
.
Siapakah wangsa Sanggramawijaya.
Wangsa Sanggramawijaya menurut para sejarahwan adalah raja 2 yang
keturunan Ken Dedes dan Ken Arok. Seperti diketahui Ken Arok merebut Ken
Dedes dari Tunggul Ametung , seorang akuwu ( bupati) Tumapel.
Perebutan ini sepenuhnya mendapat restu dari Brahmana Hindu Siwa karena
perkawinan antara Ken Dedes dan Tunggul Ametung, dianggap para brahmana
Hindu Siwa, sebagai perkawinan yang tidak setara, dan merupakan
pemaksaan dari Tunggul Ametung. Tunggul Ametung tidak memiliki
kepantasan sedikitpun kawin dengan Ken Dedes karena kedudukan dan
kastanya lebih rendah. Maka para Brahmana Hindu Siwa , memerintahkan Ken
Arok, ksatrya Brahmana merebut kembali Ken Dedes dari Tunggul Ametung.
Pramudya Ananta Toer mendeskripsikan , tentang kelompok Hindu Siwa ini,
sebagai ras Arya yang sangat exclusive dan menjaga keturunan dengan
ketat dan teguh terhadap agamanya.
Kapan kelompok ini datang ke Jawa
Sejarahwan mencatat mereka (Arya) telah berada di Jawadwipa ( Pulau
Jawa) ,sejak wangsa Sanjaya diabad ke tujuh. Malahan ada yang
berpendapat wangsa Sanjaya , sebenarnya berasal dari Jambudwipa (
India).Mereka adalah pembangun atau setidaknya terlibat secara langsung
dengan pendirian candi Prambanan(Hindu Siwa) dan candi Borobudur.(
Budha) .
Ada sejarahwan yang berpendapat semula candi Borobudurpun dipersiapkan
sebagai candi Hindu Siwa, seperti terlihat bentuk pada bangunan dasar
dan konsep kontruksinya, tetapi karena wangsa Sanjaya (Hindu Siwa) kalah
dengan wangsa Syailendra (Budha Mahayana) , maka candi Borobudur
diteruskan sebagai candi Budha.
Maka kelompok ini dengan jelas keberadaaannya terlacak mulai dari wangsa
Sanjaya,Syaelendra, Singhasari, Majapahit , Blambangan dan Bali
Bagaimana nasib kelompok Arya (Hindu Siwa ) di Blambangan ,setelah perang Paregreg
TAMAN AYUN YANG DIBANGUN TJOKORDE SAKTI BLAMBANGAN
Setelah perang Paregreg , dengan sendirinya tamatlah kerajaan Hindu
Siwa di Jawa. Dan seperti dicatat oleh Negara Kertagama , karena
perlakuan yang tidak pantas raja 2 sesudah Hayamwuruk, terhadap Brahmana
dan penganut Hindu Siwa maka mereka sebagian exodus ke Bali.
Meskipun begitu kerajaan Blambangan masih mampu menghadang expansi
kerajaan Demak Islam, dan mengalahkan pasukan Demak di Penarukan, karena
dalam pertempuran itu Sultan Tranggono gugur . Oleh karena itu peranan
Blambangan dalam menjaga existensi Bali sangat besar .
Maka pantas kiranya pendiri kerajaan Mengwi( dari Bali Selatan),I Gusti
Agung Anak Agung mengangkat dirinya dengan gelar kebesaran Tjokorde
Sakti Blambangan . Beliau tidak saja mencantumkan Blambangan sebagai
namanya tetapi juga membangun Pura Paibon ( yaitu Pura yang diperuntukan
untuk ibu suri) yang dikenal sekarang sebagai Taman Ayun.
Para sejarahwan menganggap taman ini lebih bernuansa Jawa Kuno ( Hindu
Siwa Jawa) daripada Hindu Siwa Bali , Pura ditempat itu tidak menghadap
ke Gunung Agung dan lebih dari itu ditaman ini terdapat 64 tugu leluhur (
batu dengan permukaan halus atau Dolmen yang mirip dengan watu
loso,yang ada di daerah Rogojampi ke barat).
Dengan itu saya agak ragu mengatakan bahwa kerajaan Mengwi menguasai
Blambangan tetapi .mungkin ada istilah yang lebih tepat.atau barangkali
sebenarnya Mengwi adalah peralihan kerajaan Majapahit Timur /Blambangan
ke Bali.
Ini terbukti dengan keterlibatan Mengwi mengusir penjajah Belanda dari Bumi Blambangan sangat jelas dan intens.
Wong Agung Wilis yang menjadi adipati dan panglima perang di Blambangan
dididik dan dibesarkan di kerajaan Mengwi. dan mendapat dukungan penuh
dari kerajaan Mengwi ,sehingga mampu mengerahkan 4000 pasukan yang
terdiri pasukan Blambangan, Bali , China,dan Bugis dalam satu perang
frontal yang amat dahsyat yang kemudian kita kenal Perang Puputan Bayu.
Berakhirnya perang Puputan Bayu,berakibat fatal pada kelompkok Arya di Blambangan juga bagi kerajaan Mengwi di Bali.
Setelah perang Puputan Bayu pemusnahan orang Arya di Blambangan (
Banyuwangi)) dilakukan secara sistematis , Sir Stanfford Raffles dalam
buku terkenalnya : History Of Java “ menulis
From that moment , the provinces subjected to its authority, ceased to
improve. Such were the effect of her desolating system that the
population of the province of Banyuwangie,which 1750 is said to have
amounted to upwards of 80.000, was in 1811 reduce to 8000.
Sebuah survey demographie setelah perang Puputan Bayu menjadi bukti
tulisan Sir Stanford Raffles tsb Blambangan hanya memiliki 120 sampai
130 kampung asli,dan tiap kampong hanya dihuni paling banyak 35
keluarga, malahan ada kampong yang tidak berpenghuni ( antara lain
Tabanan).
Desolating system yang dilakukan Belanda sendiri, maupun Penguasa Local
(boneka Belanda) terhadap kelompok Arya Blambangan pada saat itu sungguh
mengerikan,mulai dari kerja rodi, membentuk persepsi yang jelek melalui
cerita Menakjinggo Damarwulan ( Serat Kanda, serat Blambangan, Serat
Damarmulan) sampai perlakuan yang sadis terhadap para ksatrya Arya
Blambangan( ada novel yang menceritakan masalah ini).
Akibat tindakan ini selain jumlah populasi yang menyusut drastis juga
berakibat populasi perempuan kelompok Arya Blambangan lebih banyak dari
kelompok laki laki.
Pemerintahan Sir Stanford Raflles 1811 sd1816,( ada bukti lain
sebenarnya Inggris tetap menguasai Bengkulu dan Banyuwangi sampai
Raffles menguasai Singapore yaitu 1819) memberi sedikit bernafas lega
kelompok ini. Pembangunan mulai digerakkan , para pendatang dari segala
suku dan bangsa berdatangan ke Banyuwangi. Maka terjadilah perkawinan
campuran gadis Arya Blambangan yang cantik dengan para pendatang,
demikian pula para prianya.
Tidak heran jumlah mereka yang asli semakin mengecil, dan penulis hanya
menjumpai mereka yang sudah tua pada tahun 1950an. Mungkin zaman
revolusi dan kemerdekaan telah mematahkan exclusive mereka , dan mereka
sekarang malah menjadi pluralis kawin dengan suku Nusantara maupun
dengan suku bangsa lainnya.
Perang Paregreg
Diposting oleh
yunitaarumrahayu
|
Read User's comments(0)
Jatuhnya Kerajaan Majapahit
Diposting oleh
yunitaarumrahayu
|
Tersebutlah kisah, Adipati Terung
meminta Sultan Bintara alias Raden Patah yang masih “kapernah” kakaknya,
untuk menghadap Prabu Brawijaya. Tapi Sultan Demak itu tidak mau karena
ayahnya dianggap masih kafir.Brawijaya adalah raja Majapahit, kerajaan
Hindu yang pernah jaya ditanah Jawa. Bahkan kemudian Raden Patah lalu
mengumpulkan para bupati pesisir seperti Tuban, Madura dan Surabaya
serta para Sunan untuk bersama-sama menyerbu Majapahit yang kafir itu.
Prajurit Islam dikerahkan mengepung ibu
kota kerajaan, karena segan berperang dengan puteranya sendiri, Prabu
Brawijaya meloloskan diri dari istana bersama pengikut yang masih setia.
Sehingga ketika Raden Patah dan rombongannya (termasuk para Sunan)
tiba, istana itu kosong. Atas nasihat Sunan Ampel, untuk menawarkan
segala pengaruh raja kafir, diangkatlah Sunan Gresik jadi raja Majapahit
selama 40 hari. Sesudah itu baru diserahkan kepada Sultan Bintara untuk
diboyong ke Demak.
Cerita ini masih dibumbui lagi, yaitu
setelah Majapahit jatuh, Adipati Terung ditugasi mengusung paseban raja
Majapahit ke Demak untuk kemudian dijadikan serambi masjid. Adipati
Bintara itu kemudian bergelar “Senapati Jinbun Ngabdurrahman Panembahan
Palembang Sayidina Panatagama”.
Cerita mengenai serbuan tentara Majapahit itu dapat ditemui dalam
“BABAD TANAH JAWI”. Tapi cerita senada juga terdapat dalam “Serat
Kanda”. Disebutkan, Adipati Bintara bersama pengikutnya memberontak pada
Prabu Brawijaya. Bala tentara Majapahit dipimpin oleh Mahapatih Gajah
Mada, Adipati Terung dan Andayaningrat (Bupati Pengging). Karena takut
kepada Syekh Lemah Abang, gurunya, Kebo Kenanga (Putra Bupati Pengging)
membelot ikut musuh. Sementara itu Kebo Kanigara saudaranya tetap setia
kepada Sang Prabu Brawijaya.Tentara Demak dibawah pimpinan Raden Imam diperlengkapi dengan senjata sakti “Keris Makripat” pemberian Sunan Giri yang bisa mengeluarkan hama kumbang dan “Badhong” anugerah Sunan Cirebon yang bisa mendatangkan angin ribut. Tentara Majapahit berhasil dipukul mundur sampai keibukota, cuma rumah adipati Terung yang selamat karena ia memeluk Islam.
Karena terdesak, Prabu Brawijaya mengungsi ke (Tanjung) sengguruh beserta keluarganya diiringi Patih gajah Mada. Itu terjadi tahun 1399 Saka atau 1477 Masehi. Setelah dinobatkan menjadi Sultan Demak bergelar “Panembahan Jinbun”, adipati Bintara mengutus Lembu Peteng dan jaran panoleh ke sengguruh meminta sang Prabu masuk agama Islam. tapi beliau tetap menolak. Akhirnya Sengguruh diserbu dan Prabu Brawijaya lari kepulau Bali.
Cerita versi BABAD TANAH JAWI dan SERAT KANDA itulah yang selama ini populer dikalangan masyarakat Jawa, bahkan pernah juga diajarkan disebagian sekolah dasar dimasa lalu. Secara garis besar, cerita itu boleh dibilang menunjukkan kemenangan Islam. Padahal sebenarnya sebaliknya, bisa memberi kesan yang merugikan, sebab seakan-akan Islam berkembang di Jawa dengan kekerasan dan darah. Padahal kenyataannya tidak begitu.
Selain fakta lain banyak menungkap bahwa masuknya Islam dan berkembang ditanah Jawa dengan jalan damai. Juga fakta keruntuhan Majapahit juga menunjukkan bukan disebabkan serbuan tentara Islam demak.
Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya “Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit” secara panjang lebar membantah isi cerita itu berdasarkan bukti-bukti sejarah. Dikatakan Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda yang ditulis abad XVII dijaman Mataram itu tanpa konsultasi sumber sejarah yang dapat dipercaya. Sumber sejarah itu antara lain beberapa prasasti dan karya sejarah tentang Majapahit, seperti “Negara Kertagama dan Pararaton”. Karena itu tidak mengherankan jika uraiannya tentang Majapahit banyak yang cacat.
“Prasasti Petak” dan “Trailokyapuri” menerangkan, raja Majapahit terakhir adalah Dyah Suraprahawa, runtuh akibat serangan tentara keling pimpinan Girindrawardhana pada tahun 1478 masehi, sesuai Pararaton. Sejak itu Majapahit telah berhenti sebagai ibu kota kerajaan. Dengan demikian tak mungkin Majapahit runtuh karena serbuan Demak. Sumber sejarah Portugis tulisan Tome Pires juga menyebutkan bahwa Kerajaan Demak sudah berdiri dijaman pemerintahan Girindrawardhana di Keling.
Saat itu Tuban, Gresik, Surabaya dan Madura serta beberapa kota lain dipesisir utara Jawa berada dalam wilayah kerajaan Kediri, sehingga tidak mungkin seperti diceritakan dalam Babad Jawa, Raden Patah mengumpulkan para bupati itu untuk menggempur Majapahit.
Penggubah Babad Tanah Jawi tampaknya mencampur adukkan antara pembentukan kerajaan Demak pada tahun 1478 dengan runtuhnya Kediri oleh serbuan Demak dijaman pemerintahan Sultan Trenggano 1527. Penyerbuan Sultan Trenggano ini dilakukan karena Kediri mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka seperti yang dilaporkan Tome Pires. Demak yang memang memusuhi Portugis hingga menggempurnya ke Malaka tidak rela Kediri menjalin hubungan dengan bangsa penjajah itu.
Setelah Kediri jatuh (Bukan Majapahit !) diserang Demak, bukan lari kepulau Bali seperti disebutkan dalam uraian Serat Kanda, melainkan ke Panarukan, Situbondo setelah dari Sengguruh, Malang. Bisa saja sebagian lari ke Bali sehingga sampai sekarang penduduk Bali berkebudayaaan Hindu, tetapi itu bukan pelarian raja terakhir Majapahit seperti disebutkan Babad itu. Lebih jelasnya lagi raden Patah bukanlah putra Raja Majapahit terakhir seperti disebutkan dalam Buku Babad dan Serat Kanda itu, demikian Dr. Slamet Muljana.
Sejarawan Mr. Moh. Yamin dalam bukunya “Gajah Mada” juga menyebutkan bahwa runtuhnya Brawijaya V raja Majapahit terakhir, akibat serangan Ranawijaya dari kerajaan Keling, jadi bukan serangan dari Demak. Uraian tentang keterlibatan Mahapatih Gajah Mada memimpin pasukan Majapahit ketika diserang Demak 1478 itu sudah bertentangan dengan sejarah.
Soalnya Gajah Mada sudah meninggal tahun 1364 Masehi atau 1286 Saka.
Penuturan buku “Dari Panggung Sejarah” terjemahan IP Simanjuntak yang bersumber dari tulisan H.J. Van Den Berg ternyata juga runtuhnya Majapahit bukan akibat serangan Demak atau tentara Islam. Ma Huan, penulis Tionghoa Muslim, dalam bukunya “Ying Yai Sheng Lan” menyebutkan, ketika mendatangi Majapahit tahun 1413 Masehi sudah menyebutkan masyarakat Islam yang bermukim di Majapahit berasal dari Gujarat dan Malaka. Disebutkannya, tahun 1400 Masehi saudagar Islam dari Gujarat dan Parsi sudah bermukim di pantai utara Jawa.
Salah satunya adalah Maulana Malik Ibrahim yang dimakamkan di Pasarean Gapura Wetan Kab. Gresik dengan angka tahun 12 Rabi’ul Awwal 882 H atau 8 April 1419 Masehi, berarti pada jaman pemerintahan Wikramawardhana (1389-1429) yaitu Raja Majapahit IV setelah Hayam Wuruk. Batu nisan yang berpahat kaligrafi Arab itu menurut Tjokrosujono (Mantan kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Mojokerto), nisan itu asli bukan buatan baru.
Salah satu bukti bahwa sejak jaman Majapahit sudah ada pemukiman Muslim diibu kota, adalah situs Kuna Makam Troloyo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, JATIM. Makam-makam Islam disitus Troloyo Desa Sentonorejo itu beragam angka tahunnya, mulai dari tahun 1369 (abad XIV Masehi) hingga tahun 1611 (abad XVII Masehi).
Nisan-nisan makam petilasan di Troloyo ini penuh tulisan Arab hingga mirip prasati. Lafalnya diambil dari bacaan Doa, kalimah Thayibah dan petikan ayat-ayat AlQuran dengan bentuk huruf sedikit kaku. Tampaknya pembuatnya seorang mualaf dalam Islam. Isinya pun bukan bersifat data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan, melainkan lebih banyak bersifat dakwah antara lain kutipan Surat Ar-Rahman ayat 26-27.
P.J. Veth adalah sarjana Belanda yang pertama kali meneliti dan menulis makam Troloyo dalam buku JAVA II tahun 1873.
L.C. Damais peneliti dari Prancis yang mengikutinya menyebutkan angka tahun pada nisan mulai abad XIV hingga XVI. Soeyono Wisnoewhardono, Staf Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Trowulan mengatakan, nisan-nisan itu membuktikan ketika kerajaan Majapahit masih berdiri, orang-orang Islam sudah bermukim secara damai disekitar ibu kota.
Tampak jelas disini agama Islam masuk kebumi Majapahit penuh kedamaian dan toleransi.
Satu situs kepurbakalaan lagi dikecamatan trowulan yakni diDesa dan kecamatan Trowulan adalah Makam Putri Cempa. Menurut Babad Tanah jawi, Putri Cempa (Jeumpa, bahasa Aceh) adalah istri Prabu Brawijaya yang beragama Islam. Dua nisan yang ditemukan dikompleks kekunaan ini berangka tahun 1370 Saka (1448 Masehi) dan 1313 Saka (1391 Masehi).
Dalam legenda rakyat disebutkan dengan memperistri Putri Cempa itu, sang Prabu sebenarnya sudah memeluk agama Islam. Ketika wafat ia dimakamkan secara Islam dimakam panjang (Kubur Dawa). Dusun Unggah-unggahan jarak 300 meter dari makam Putri Cempa bangsawan Islam itu.
Dari fakta dan situs sejarah itu, tampak bukti otentik tentang betapa tidak benarnya bahwa Islam dikembangkan dengan peperangan. Justru beberapa situs kesejarahan lain membuktikan Islam sangat toleran terhadap agama lain (termasuk Hindu) saat Islam sudah berkembang pesat ditanah Jawa.
Dikompleks Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur misalnya, berdiri tegak Candi Siwa Budha dengan angka tahun 1400 Saka (1478 masehi) yang kini letaknya berada dibelakang kantor Pemda tuban. Padahal, saat itu sudah berdiri pondok pesantren asuhan Sunan Bonang. Pondok pesantren dan candi yang berdekatan letaknya ini dilestarikan dalam sebuah maket kecil dari kayu tua yang kini tersimpan di Museum Kambang Putih, Tuban.
Di Kudus, Jawa Tengah, ketika Sunan Kudus Ja’far Sodiq menyebarkan ajaran Islam disana, ia melarang umat Islam menyembelih sapi untuk dimakan. Walau daging sapi halal menurut Islam tetapi dilarang menyembelihnya untuk menghormati kepercayaan umat Hindu yang memuliakan sapi.
Untuk menunjukkan rasa toleransinya kepada umat Hindu, Sunan Kudus menambatkan sapi dihalaman masjid yang tempatnya masih dilestarikan sampai sekarang. Bahkan menara Masjid Kudus dibangun dengan gaya arsitektur candi Hindu.
ketika kerajaan Majapahit berdiri sebagai bagian dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejak didirikan Raden Wijaya yang bergelar Kertanegara Dharmawangsa, kerajaan ini senantiasa diliputi fenomena pemberontakan.
Pewaris tahta Raden Wijaya, yakni masa pemerintahan Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Kertarajasa.
Pemberontakan pertama sebetulnya sudah dimulai sejak Kertarajasa masih hidup, yaitu oleh Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban, akibat tidak puas karena bukan dia yang menjadi patih Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja. Tetapi usahanya (1309) dapat digagalkan.
Pemberontakan kedua di tahun 1311 oleh Sora, seorang rakryan di Majapahit, tapi gagal. Lalu yang ketiga dalam tahun 1316, oleh patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah Lumajang dan benteng di Pajarakan. Ia pun sekeluarga ditumpas.
Pemberontakan selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki, sang raja melarikan diri dibawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada.
Namun dengan bantuan pasukan-pasukan Majapahit yang masih setia, Gajah Mada dengan Bhayangkarinya menggempur Kuti, dan akhirnya Jayanegara dapat melanjutkan pemerintahannya.
Berhenti pemberontakan Kuti, tahun 1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Maka patih Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga pemberontakan dapat ditumpas. Keberhasilan Gajah Mada memadamkan pemberontakan Sadeng membawanya meraih karier diangkat sebagai mahapatih kerajaan.
Namun pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pada tahun 1350-1389, berkali-kali sang patih Gajah Mada –yang juga panglima ahli perang di masa itu– harus menguras energi untuk memadamkan pemberontakan di beberapa daerah. Pemberontakan Ronggolawe sampai serangan kerajaan Dhaha, Kediri.
Bahkan salah satu penyebab kemunduran dan hancurnya kerajaan Majapahit adalah ketika meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan, daerah bawahan mulai melepaskan diri dan berkembangnya Islam di daerah pesisir
Kerajaan Majapahit yang pernah mengalami masa keemasan dan kejayaan harus runtuh terpecah-pecah setelah kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada.
Langganan:
Postingan (Atom)